KERUSAKAN dan kebusukan politik di Republik ini membuat
generasi muda sebagai generasi penerus bangsa terlalu banyak yang tidak mau
berpolitik, apalagi masuk partai politik. Padahal, kelompok usia muda mewarisi
cita-cita Republik.
Generasi muda yang hidup dalam nuansa dan suasana politik
yang kacau-balau semestinya memiliki kreativitas tinggi dan keunggulan untuk
melakukan perubahan atas berbagai kerumitan dan masalah politik. Ketidakpedulian generasi saat ini kepada politik
juga berarti ketidakpedulian terhadap kemajuan Republik.
Benjamine Fine dalam bukunya 1.000.000
Delinquents (1957) mengatakan, “A generation who will one day become our
national leader.“ Generasi muda
kelak akan menjadi ahli waris dan pemimpin bangsa dan negara. Pertanyaannya,
bagaimana bisa gene rasi muda menjadi pemimpin Republik kalau takut atau tak
mau berpolitik? Bagaimana melakukan perubahan terhadap kerusakan dan
kebusukan partai politik kalau kecut masuk partai politik?
Demokrasi yang terbelah
Kerusakan politik dan instrumennya akan berakibat mandeknya
perjalanan demokrasi dalam Republik. Di alam demokrasi, kenyataannya masyarakat
kelas bawah sengsara dan penganggur bertambah, tapi kelompok elite politik dan
penguasa justru bergelimang harta.
Politik memang berselingkuh dengan ekonomi. Namun apabila
kebijakan ekonomi mengisap rakyat dan menghasilkan kebijakan-kebijakan opresif
dan diskriminatif, pelayanan sosial, kesehatan, pendidikan, dan ketersediaan
lapangan kerja–semua sarana yang mestinya dinikmati secara bebas dan menjadi
indikator penting dari sebuah negara demokrasi–tertawan oleh kepentingan elite
politik.
Selain itu, masalah demokrasi menjadi penyebab utama
kejatuhan rezim. Bila melihat gejolak politik di Timur Tengah belum lama ini,
krisis ekonomi d dan demokrasi itulah yang m mendorong generasi muda di Timur
Tengah melancarkan demonstrasi. Mereka berjuang menumbangkan rezim otoriter
demi demokrasi dan pengembangan ekonomi ke arah lebih baik. Dengan menggunakan
jaringan teknologi komunikasi mutakhir seperti Facebook dan Twitter, kaum muda
yang tertekan bergerak untuk perubahan. Merekalah generasi muda yang menari tari gelombang perubahan di Timur
Tengah.
Hampir semua
tuntutan rakyat di beberapa negara Timur Tengah membuka keran demokrasi di
negara masingmasing. Penolakan terhadap demokrasi merupakan langkah yang mati.
Rakyat diperintah rezim-rezim paling buruk yang memaksakan apa yang mereka
takuti dari demokrasi. Jadi, tak usah takut dengan demokrasi.
Artinya,
kebajikan demokrasi itu terletak di mana saja, termasuk di Timur Tengah. Begitu
pula nyala sumbu api demokrasi, bisa menyala di negara mana saja. Si penyala
api demokrasi itu bisa siapa saja: mahasiswa, politikus, bahkan pedagang
asongan.
Generasi politik
Di Republik ini,
tampak pening katan generasi muda yang ogah berpolitik, konsumtif,
individualistis, dan tak bergairah untuk terlibat dalam organisasi-organisasi
kepemudaan dan organisasi politik. Kecenderungan generasi muda yang seperti itu
berarti mereka semakin apolitis.
Dunia politik
memang gemar memolitisasi ideologi dan menjadikannya slogan kosong belaka. Jika
generasi yang ogah berpolitik memilih diam, barangkali bukan karena mereka tak
peduli. Mungkin saja mereka takut tercemar oleh kebusukan politik dan rezim
korup yang enggan dan takut dengan gerakan perubahan.
Dalam konteks
itu, perlu memahami mengapa me reka menjadi apolitis. Di beberapa negara Timur
Tengah, generasi apolitis menjelma menjadi kekuatan baru yang ditakuti rezim
otoriter.
Rezim otoriter
sering salah tingkah dengan berupaya membatasi dan memblokir komunikasi dunia
maya; dunia yang paling digandrungi generasi apolitis. Namun di balik tampilan
lahiriah yang apolitis , sebenarnya terdapat sebuah kebenaran paradoksal dalam
diri mereka.
Semakin giat sebuah rezim membentuk generasi apolitis,
semakin kuat pula kemungkinan ia akan diturunkan generasi yang sama. Rezim yang
berikhtiar melanggengkan kekuasaan melalui politik yang melahirkan generasi
apolitis suatu saat kelak akan bertemu dengan karmanya.
Negara Tunisia
yang kini telah beralih ke pemerintahan baru sebelumnya diperintah rezim
diktator dan koruptif Ben Ali. Partai An-Nahda di Tunisia menang dalam
pemilu 23 Oktober 2011 dengan 41,47% suara. Partai An-Nahda dan anggota koalisi
berkuasa dalam Majelis Konstituante Tunisia mengumumkan pembentukan gerakan
mahasiswa bernama Ennahda’s Youth at University (EYU).
Menurut Abdelkarim Harouni, anggota Majelis Konstituante
yang mewakili Distrik Tunisa 1 dan juga presiden sayap pemuda An-Nahda, mereka
menghendaki adanya ruang kebebasan dan konsensus di universitas-universitas di
Tunisia. Tujuan aktivitas EYU ialah restorasi lingkungan politik yang moderat
di dalam universitas. Yakni, membantu penyolidan tujuan-tujuan revolusi,
menguatkan kembali identitas Arab-Tunisia, dan membela hak para mahasiswa untuk
bersatu dan berorganisasi politik.
Dalam gerakan partai politik di Indonesia saat ini, hadirnya
Liga Mahasiswa NasDem, yang merupakan sayap Partai NasDem, memainkan peran
penting dalam mengonsolidasi berbagai gerakan mahasiswa untuk peduli terhadap
politik dan partai politik. Dengan moto belajar, berpartai, dan berbakti, Liga
Mahasiswa NasDem berupaya membangun iklim dialog yang sehat di antara berbagai
kelompok mahasiswa yang memiliki ideologi dan kepentingan yang berbeda-beda.
Tentu sayap Partai NasDem ini perlu membuktikan kinerja mereka kepada kaum muda
dan rakyat Indonesia dengan konsep politik yang implementatif dan substantif.
Dalam lingkungan politik demokratis, generasi apolitis
maupun generasi politik menjadi backbone (tulang punggung) dari gerakan
demokrasi. Namun, perlu dibuka cara-cara baru yang membuat generasi penerus
Republik ini untuk mulai melihat bahwa lingkungan politik tak selamanya penuh
dengan kotoran dan kebusukan.
Oleh karena itu, diperlukan generasi politik sebagai tenaga
ampuh yang dapat melakukan perubahan terhadap kerusakan partai politik di
Republik ini. Generasi politik yang memiliki kemerdekaan hati nurani didorong
rasa kemanusiaan, kebenaran, dan keadilan.