Twitter

Bahasa dan Manipulasi Politik

Author Unknown - -
Home » Bahasa dan Manipulasi Politik


Bahasa dan Manipulasi Politik

OPINI | 01 September 2011 | 00:33Dibaca: 642   Komentar: 0   Nihil
Sebagai media komunikasi yang paling esensial di antara berbagai bentuk media komunikasi artifisial hasil rekayasa teknologi moderen, bahasa dapat kita katakan sebagai bagian dari eksistensi manusia. Tentu saja hal ini erat kaitannya dengan fungsi bahasa sebagai wahana manusia dalam mengungkapkan perasaan, pikiran, gagasan dan tindakannya di dalam kehidupan sehari-hari. Sprache ist ein Werkzeug, kein Spiegel (bahasa adalah alat, bukan cermin). Demikian kata Ludwig Wittgenstein untuk menunjukkan bahwa bahasa adalah alat bagi manusia, dan bukan cerminan realitas manusia. Pengalaman dan makna hidup (baca: realitas) manusia dibentuk lewat bahasa.
Oleh karena bahasa berfungsi sebagai alat, maka bahasa dapat pula digunakan untuk berbagai kepentingan dan tujuan. Baik itu kepentingan perorangan maupun golongan (kolektif). Kepentingan dan tujuan kolektif maupun individual itu harus diraih manusia apabila ia ingin bisa survive di dalam alam kompetisi. Tentu saja bahasa mutlak diperlukan di dalam langkah awal untuk mencapai tujuan dan kepentingan tersebut. Dengan bahasa manusia dapat mengabstraksikan keinginannya ke dalam suatu “konsep riil”.
Politik mengandaikan pertikaian kepentingan berbagai lapisan kelompok sosial masyarakat. Di dalam dunia politik inilah bahasa tidak dapat lepas dari manipulasi politik yang dengan berbagai cara memanipulasi bahasa pula. Atau dengan kata lain, bahasa dijadikan alat manipulasi.
Asumsi dalam tulisan ini mengandaikan bahwa bahasa an sich dilepaskan dari fungsi dasarnya sebagai media komunikasi manusia. Bahasa menjadi tidak otonom. Sama seperti kemanusiaan manusia yang tidak otonom bila telah menjadi alat penindas demi suatu kepentingan dan tujuan. Oleh karena itu bahasa menjadi tidak bebas nilai bila jatuh ke dalam kancah pertikaian politik kolektif. Setiap pernyataan politik selalu mempunyai tendensi tertentu. Manipulasi adalah kegiatan yang tidak bisa dihindarkan setiap institusi dan pribadi untuk mencapai tujuan dan kepentingan. Bahasa menjadi alat manipulasi.
Bahasa dan Politik
Kaitan politik dan bahasa adalah kenyataan bahwa politik itu adalah kegiatan berbicara (baca: berbahasa). Seorang ilmuwan politik, Mark Roelofs (The Language of Modern Politics, 1967), mengatakan dengan sederhana, “Politik adalah pembicaraan, atau lebih tepat lagi berpolitik adalah berbicara.” Menurutnya politik tidak hanya pembicaraan, dan sebaliknya tidak semua pembicaraan adalah politik. Akan tetapi hakekat pengalaman politik adalah kegiatan berkomunikasi antara orang-orang.
Sudah barang tentu politik mempunyai dimensi moral-etiknya sendiri, karena politik pada dasarnya adalah kegiatan orang yang mengatur perbuatan mereka di dalam kondisi kenflik kepentingan dan tujuan. Setiap setting politik senantiasa ditandai dengan perselisihan dan konflik.
Demikian pula halnya dengan bahasa. Bahasa mempunyai kekuatan dan dimensi emansipatoris, transformatif, dan terbuka di dalam penilaian moral-etis. Bahasa dapat menjadi jahat dan buruk. Bahasa dapat menindas, membelenggu dan menjajah kesadaran seseorang. Terutama bila digunakan sebagai sarana manipulasi dan indoktrinasi. Bahasa menjadi baik bila digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan manusia dan membebaskan kesadaran manusia dari belenggu kebodohannya. Fenomena bahasa memiliki cakupan sosial politik. Itu sebabnya tidak bisa dipungkiri bahwa fenomena bahasa mempunyai dampak yang langsung dan kuat terhadap realitas sejarah politik manusia.
Bahasa dan Konflik Politik
Banyak idiom dan jargon politik yang tadinya digunakan sebagai lambang dan simbol dari kondisi politik yang stabil berubah menjadi lambang dan simbol keadaan politik yang labil bersamaan dengan terjadinya gejolak dan perubahan politik suatu negara.
Plato bahkan mengatakan bahwa kalau penguasa menjadi otoriter, maka bahasa pasti akan menjadi kacau-balau. Kekacauan timbul akibat dari konflik kepentingan penguasa dan oposan. Oleh karena itu sumber kekacauan ada pada penguasa dan kaum oposan. Untuk melanggengkan struktur dan status quo, penguasa akan melakukan manipulasi politik melalui bahasa. Sebaliknya, kaum oposan yang menentang kebijaksanaan tersebut menciptakan manipulasi yang berseberangan dengan penguasa. Dari sinilah awal timbulnya kekacauan bahasa. Selanjutnya terjadi polarisasi bahasa yang tidak berasal dari bahasa itu sendiri, melainkan dari realitas pergolakan politik yang kemudian tercermin di dalam bahasa.
Kekacauan ini dapat diamati dalam perdebatan yang menggunakan jargon dan idiom antara pemerintah yang berkuasa dengan kaum oposan yang berada di luar pemerintahan. Contoh yang paling sering diperdebatkan misalnya: buruh-pekerja, breidel-pencabutan SIUP, kenaikan harga-penyesuaian harga, perempuan-wanita, PHK-pecat, dan lain-lainnya. Di dalam hal ini pihak pemerintah dan kaum oposan menggunakan terminologi, jargon ataupun idiomnya masing-masing sebagai ciri hubungan peran di antara mereka.
Bahasa Sebagai Alat Manipulasi Politik
Bahasa adalah sarana untuk menyingkap realitas personal dan komunal. Bahasa dapat memperdaya, menggusarkan, menggairahkan dan juga melumpuhkan manusia. Manusia bisa tersesat, kalah, menang dan selamat dengan atau di dalam bahasa. Dengan bahasa orang mendapatkan kesesuaian satu dengan yang lainnya sehingga tercipta harmoni dan kedamaian. Namun, dengan bahasa pula kedamaian dan harmoni dihancurkan lewat kesalahpahaman, makian, dan bahkan peperangan. Penggunaan bahasa tidak bisa dilepaskan dari tindakan manusia.
Di dalam politik manipulasi bahasa selalu terjadi. Kemampuan berbahasa sangat diperlukan dalam memanipulasi. Setiap manusia senantiasa memanipulasi dirinya dan orang lain bila ia terdesak oleh kepentingan dan tujuan yang ingin dicapai. Oleh karena itu memanipulasi itu baik adanya bila ditujukan bagi kepenitngan dan tujuan yang baik pula.
Memanipulasi pada dasarnya memang melanggar martabat dan kebebasan manusia. Akan tetapi manipulasi mempunyai dimensi etisnya sendiri, yaitu tidak boleh menggangu dan melanggar landasan martabat dan kebebasan manusia. Manusia di dalam kebebasannya bertanggung jawab bagi dan kepada diri sendiri.
Manipulator bahasa memang dominan ada pada politikus, karena seorang politikus dituntut untuk memperjuangkan kepentingan dan tujuan masyarakat yang telah mempercayakan dan memberikan kekuasaan kepadanya. Mereka dapat kita katakan sebagai seorang manipulator bahasa dan orator yang ulung. Hal ini dimungkinkan karena mereka mempunyai kinerja bahasa yang tinggi.
Gejala Eufemisme
Dalam hal ini akan menarik kiranya apabila kita mengaitkannya dengan penggunaan eufemisme di dalam politik. Eufemisme merupakan suatu gaya bahasa yang indah, yang bisa memperkaya khasanah kosa kata bahasa dan dapat pula menimbulkan pesona puitis. namun bahaya lain yang ditimbulkan oleh penggunaan eufemisme yang berlebihan untuk kepentingan politik adalah menjadi buta dan teralienasinya masyarakat terhadap realitas makna yang sesungguhnya. Di dalamnya terjadi deviasi makna. Di sini pula terjadi penjajahan kesadaran, cara berpikir, cara melihat dan cara menilai. Masyarakat diarahkan dan digiring menuju keseragaman bahasa atau kata oleh penguasa. Makna kata yang kasar, brutal, bombastis dan lugas disembunyikan di dalam eufemisme. Eufemisme menjalankan fungsi kontrol sosial-politiknya sehingga terjadi keterpedayaan sosio-politik di dalam masyarakat (Fransiskus Borgias, Basis, September 1994).
Manipulasi bahasa pada kenyataannya digunakan juga sebagai kontrol sosial-politik. Kontrol sosial-politik lewat bahasa oleh penguasa dilakukan dengan cara persuasif. Misalnya dengan membuat jargon-jargon pembangunan dan eufemisme yang dengan gencar diucapkan oleh para pejabat negara di dalam setiap kesempatan. Kemudian media massa menggemakan dan menggaungkannya ke masyarakat. Dampak negatif yang ditimbulkan adalah terjajah dan terbelenggunya kesadaran dan pemikiran masyarakat akibat indoktrinasi bahasa pihak penguasa melalui media massa tanpa ada reservenya. Dengan keseragaman bahasa diharapkan pula stabilitas politik tetap terjaga, karena bahasa yang diucapkan masyarakat menjadi cermin dan indikator “keterpesonaan dan keterpedayaan”.
Jika hal ini terjadi, maka masyarakat sedang menjadi manusia berkacamata kuda yang tunduk apa kata kusirnya. Di dalam bahasa Herbert Marcuse, manusia seperti ini disebut One Dimensional Man (manusia satu dimensi).